Senin, 24 Oktober 2011
UU nomor 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, pasal paling menarik adalah pasal tentang kegagalan bangunan dan pembinaan.
Terus terang saya tidak familiar dengan UU ini. Namun sangat menarik utk ditelaah dan juga dikritisi. Terutama dalam hal memandang konstruksi itu sebagai kegiatan project (punya triple constrains: time frame, biaya dan kualitas) dan juga sebagai industri (jasa) yang perlu kesinambungan (Operasi) dan sustainablity.
Mungkin kita sudah salah kaprah dalam persepsi masalah konstruksi yang melihat dunia konstruksi dalam salah satu fase yang ter-expose saja: Eksekusi.
Seperti dalam tulisan saya sebelumnya, seharusnya proyek itu dilihat dalam perspektif yang lebih luas : dari konsepsi-perencenaan design, kelayakan teknis dan keekonomian (yang ini mengambil waktu paling tidak sekitar 40-50% dari waktu proyek) dan baru eksekusi: pelaksanaan pekerjaan dan terakhir Operasional.
Karena yang membedakan Proyek dan Operasi adalah: Proyek mempunyai BATAS WAKTU dan selalu bersifat unik dari satu proyek ke proyek yg lain sementara Operasi selalu bersifat kontinus...
Jadi kalau masalah kegagalan seperti yang dimaksud, dalam dunia konstruksi yang saya pahami, kontraktor pelaksana biasanya terikat dalam sebuah kontrak pun pasti terikat dalam terms kontrak yang biasanya menyebutkan masala: WARANTY dan liabilities. Jaminan dan batas kewajiban pertanggungjawaban,
Dimana disana pun terdapat batas waktu dan batas kewajiban yang ditanggung oleh para pihak.
Tidak mungkin dibebankan ke kontraktor pelaksana apabila telah dioperasikan dan telah melewati masa garansi.
Yang bertanggung jawab dalam contoh kasus cak Daulay sebutkan (jatuhnya jembatan dst..) Menurut saya telah melewati masa Garansi proyek (dlm eksekusi) , sehingga mau tak mau adalah owner dari proyek itu, sehingga kuncinya untuk perbaikan UU itu adalah bagaimana UU Konstruksi melihat Konstruksi dalam keseluruhan process, atau dalam istilah Project Management adalah Program Management (PMO) .. Silahkan google tentang istilah tersebut. Atau kalau memang tertarik nanti saya akan tulis tentang masalah itu.
Lalu kembali kefenomena salah kaprah tersebut, yang menjadi menarik buat saya adalah: semua daya pikir dan ketertarikan publik (dan mungkin) juga pembuat UU tersebut ada pada masalah eksekusi 'wabil khusus' mekanisme Pengadaan (atau istilahnya pengadaan)..
Ini yang sering saya lihat dan temui, terutama di dunia saya (MIGAS) yang paling diminati simposiun/seminat/workshop adalah masalah pengadaan.
Bahkan buku yang diselesaikan pertama kali oleh regulator (BPMIGAS) adalah buku (PTK: Pedoman Tata Kerja) tentang pengadaan. Bukan buku Pedoman pelaksanaan bagaimana mengelola Proyek (Manajemen Proyek) sehingga dapat dikelola dengan baik, termasuk dengan regulasi dan mekanisme pengawasan dari awal sampai dengan akhir.
0 komentar:
Posting Komentar