Senin, 26 Desember 2011

Sebuah berita di Kompasiana tentang PLN yang mematikan listrik fasilitas umum, Solo Bangkrut, PLN Matikan Listrik :

" Bermula dari berita di media massa lokal, beberapa hari lalu. Tentang ancaman Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk mematikan sebanyak 17.000 lampu Penerangan Jalan Umum (PJU) di seantero Kota Solo. Hal ini dilakukan karena Pemerintah Kota (Pemkot) Solo belum juga membayar tunggakan PJU senilai Rp 9 miliar."

Dan untunglah hal ini dapat diantisipasi dengan komunikasi yang baik antara pimpinan pemerintah daerah solo yang dikomandani walikota pak Jokowi yang fenomenal itu dengan Manajemen PLN. Dan disertai solusi jangka panjang: Solo mulai berinvestasi dengan menggunakan lampu LED dan panel surya atau solar cell di semua PJU. Sehingga Solo bisa terang kembali

Dan hal ini membuat saya tergerak untuk menulis tentang bagaimana analisa keekonomian tentang fasilitas umum, dan disebuah diskusi disebutkanlah istilah TCO, dan rupanya menarik juga membahas istilah tentang TCO ini. Karena terus terang, saya juga baru mendengar istilah ini.

Apa itu TCO?

Seperti subyek diatas, TCO dapat disebutkan secara ringkas sebagai: total biaya langsung (direct cost) dan tidak langsung (indirect cost) yang merupakan total biaya untuk "memiliki" sebuah aset.
http://operationstech.about.com/od/glossary/g/TCO.htm
http://en.wikipedia.org/wiki/Total_cost_of_ownership

Yang sebenarnya istilah ini berawal mula dari istilah IT (Gartner), yang mana didalamnya termasuk juga biaya "ownership" dalam hal operasi dan maintenance dan termasuk didalamnya perkiraan biaya downtime dlsb. Untuk masing-masing perusahaan mempunyai spesifik berbeda-beda deinisi costnya.
http://www.gartner.com/technology/it-glossary/tco-total-cost-ownership.jsp

Lalu bagaimana bisa didapatkan nilai ekonomisnya?
Dari beberapa referensi yang didapat, hal ini didapat dengan sekedar membandingkan (comparing) dari TCO option #1 dengan option yang lain.. Karena dibahasan ini adalah soal penerangan jalan, yang tidak menghasilkan pemasukan secara langsung, dengan sudut pandang asset yang bersifat services atau pelayanan.

Dengan komparasi penghematan menggunakan sistem yang baru, dibandingkan sistem yang lama, sehigga didapatlah "gain" dan akhirnya bisa didapat "net cashflow" dari scenario ini, sehingga lebih lanjutnya dapat dihitung nilai ke-ekonomiannya dengan NPV,IRR, ROI, payback period dlsb, seperti halnya menghitung lifecycle costing.
http://www.solutionmatrix.com/total-cost-of-ownership.html

Moreover, if Proposal Scenario costs are lower in some areas than the corresponding Business as Usual Scenario costs, the Incremental cash flow statement will show cost savings in these areas. Cost savings can be treated as cash inflows, allowing the analyst to extend the analysis with investment-oriiented metrics such as return on investment, internal rate of return, and payback period. In that case, the TCO analysis might be summarized with an array of financial metrics that looks like this:

   3-Year Figures in $1,000s  Proposed
 Acquisition
 Business
 as Usual
Incremental
Differences
   Total Cost of Ownership    $14,256

  $17,258

  $(3,002)
   Capital Costs & Expenses (CAPEX)

    $1,219

     $707     $511
   Operating Costs & Expenses (OPEX)

   $13,037

  $16,550

  $(3,513)
   Net Cash Flow          —       —     $2,981
   Net Present Value @8% (NPV)          —       —    $2,365
   Internal Rate of Return (IRR)          —       —     121%
   Simple Return on Investment (ROI)          —       —     24.9%
   Payback Period          —       —  7 months

The negative values in (shown in parentheses) indicate cost savings under the Proposal scenario relative to Business as Usual. Those who want to understand fully where these metrics come from will of course have to have access to the three cash flow statements.


Mungkin sedikit berbeda dengan total cost management framework dalam sebuah rencana yang mempunyai value of return / profitablity, yang melihat asset dengan opportunity yang berbeda-beda yang berdasarkan net-cashflow nya dan diakhiri dengan nilai ke-ekonomiannya. Sehingga analisa TCO mungkin hanya digunakan sebagai data awal untuk menentukan nilai keekonomian sebuah rencana.

Sabtu, 24 Desember 2011

Planning and Schedulling Professional (PSP)
PSP certification, adalah sertifikasi yang dikeluarkan oleh AACE International, sebuah lembaga profesional nirlaba untuk keahlian cost engineering.
AACE adalah sebuah lembaga sertifikasi yang mungkin sudah terkenal di dunia industri konstruksi dengan CCE nya (Certified Cost Engineer) dan PSP adalah sebuah option bagi seorang scheduler, Planner, atau Project / Production Planning and Control untuk mendapatkan sertifikasi di AACE ini.
Namun untuk industri di Indonesia, lembaga ini memang tidak setenar seperti halnya Project Management Institute/ PMI, yang mengeluarkan sertifikasi PMP (Project Management Profesional).
Dan versi lokal nya, lembaga nirlaba Project Management ini, di Indonesia adalah IAMPI (Ikatan Ahli Manajemen Proyek Indonesia.

Memang ilmu tentang biaya (cost engineering) disebuah Industri tidak bisa lepas juga dari masalah penjadwalan, schedulling, sehingga menurut saya, AACE ini mengeluarkan sertifikasi PSP dengan requirement yang lebih minimal daripada sertifikasi CCE yang memerlukan papper (tulisan) ilmiah yang layak untuk dipublikasikan sebelum mendapatkan sertifikasinya.
Perlu diketahui juga, AACE tidak mengkhususkan diri pada dunia konstruksi, malah juga sebenarnya merefer pada dunia industri (manufaktur pada umunya) yang bisa dilihat pada bukunya Total Cost Management Framework (TCM Framework), yang bukunya dapat diunduh pada link-link laman e-book yang umum (scrbd.com atau di 4shared.com).

Dan berikut merupakan ringkasan yang saya ambil di web site AACE untuk sertifikasi PSP:

Candidates for the Planning and Scheduling Professional (PSP) designation must meet these minimum requirements:
1.Experience requirements
At least 8 full years of professional experience, of which up to 4 years may be substituted by college/university degree. Related degrees include: engineering, building construction, construction technology, business, economics, accounting, construction management, architecture, computer science, mathematics, etc.
2.Submit application and fees
AACE Members US$350.00 Non-Members US$500.00 for the regular fee, subtract $50 for the early fee deadline. Submit the application, work/education verification and fees, at least 40 days before the next exam date to be scheduled at an exam site.
3.Document experience/education
Applications are reviewed and verified. Please submit a copy of college degree(s) with your application, plus any letters that could expedite the verification process.
4.Pass the examination
To become PSP™ certified, an overall passing score must be achieved, as determined by the Certification Board.

The examination process
The PSP examination consists of four parts (1 hour 45 minutes each).
Part I is Basic Knowledge. It consists of multiple-choice questions concerning the basics of planning and scheduling.
Part II is a real-time Communications Exercise. It requires the candidate to draft the equivalent of a one-page typewritten (maximum) memorandum to simulate reporting on planning and scheduling analysis to the project manager, explaining the issues and proposing a solution regarding a given problem.
Part III is a Practical Exercise. This part entails answering a series of multiple-choice questions concerning various aspects of a single problem.
Part IV is Planning and Scheduling Applications. It consists of multiple-choice questions involving planning and scheduling scenarios.


Manfaat mempunyai sertifikasi PSP
Seperti halnya sertifikasi profesional yang lain, mengetahui afiliasi lembaga pengeluar sertifikasi profesional dengan dunia industrinya dan negara-negara yang biasa menerapkan/menggunakan lembaga ini sangatlah perlu. Hal ini penting, agar kita mengetahui hasil dan tujuan, dari apa yang ingin kita dapatkan(/harapkan) setelah mendapatkan sertifikasi ini.
Walaupun mungkin ada juga yang beralasan demi menambah bidang keilmuan, namun menurut saya, kalau hanya sekedar untuk sebuah keilmuan dan pengetahuan saya kira tidak perlulah sertifikasi.
Kemudian pertanyaannya, seberapa penting dan manfaat sertifikasi ini?
Jadi bagi pribadi-pribadi yang ingin menambah nilai jualnya terutama yang mengincar jenis pekerjaan sebagai profesional Planning And Schedulling (Project Control) hal ini sangat tepat. Karena AACEI ini sudah terkenal di dunia industri konstruksi dan juga dinegara asalnya, Amerika, hampir semua industri konstruksi berafiliasi dengan standard keilmuan ini. Dan pasar di negara-negara middle east juga sangat memperhatikan kualifikasi dan sertifikasi Internasional seperti ini.
Namun kalau untuk industri Indonesia, tidak seperti halnya PMP apalagi di dunia industri IT, untuk PSP saya belum melihatnya sebagai suatu kebutuhan yang mendesak bagi Industri Indonesia.