Selasa, 03 Januari 2012
Permasalahan Safety, merupakan hal yang sangat krusial di perusahaan-perusahaan MIGAS. Kejadian First Aid Case, Medical Treatment Case atau bahkan Fatality, kesemuanya adalah kejadian yang tidak kita inginkan, dan kesemua kejadian itu masuk kedalam TRR (Total Recordable Rate) yang dapat mempengaruhi Safety Performance Perusahaan.
Safety merupakan basic requirements untuk bisa lolos menjadi kontraktor pelaksana di lingkungan MIGAS. Dimana proses seleksi ini dimulai dengan HSE assesments suatu pekerjaan sebelum kontrak di tenderkan. Assesment ini dimulai dengan assesment tingkat resiko pekerjaan oleh HSE Engineer (HSE group) dan mereka akan mengkatagorikan pekerjaan ini dalam katagori beresiko rendah (low risk), medium risk atau high risk. Pada pekerjaan yang hanya bersifat supply barang dan atau mungkin bersifat jasa engineering atau sekedar supply manpower, biasanya katagorinya adalah pekerjaan dengan resiko yang rendah terhadap safety. Dan kemudian resiko meningkat, apabila pekerjaan yang sudah bersifat secara fisik, maka biasanya kemudian diklasifikasi sebagai "medium" risks (contoh pekerjaan transporter) dan apalagi kalau pekerjaannya bersifat kompleks dan/atau konstruksi maka katagorinya selalu ada pada "High" Risks.
Dan penerapan program safety kepada kontraktor dan/atau vendor ini dilakukan dengan menggunakan sistem yang dikenal sebagai CHSEMS (Contractor SHE Management Systems) atau juga biasa juga disebut CSMS. Maka dengan katagori hasil assesment diatas, kemudian menghasilkan katagori resiko. Dengan katagori paling tidak Medium, maka kontraktor harus menyiapkan HSE Plan, yang menjadi sebuah prasyarat pada dokumen tender yang harus dipersiapkan oleh kontraktor. Dan dalam pelaksanaanya dokumen HSE Plan ini harus di setujui sebelum pekerjaaan fisik dilapangan.
Kembali ke pertanyaan sesuai dengan judul di atas, walaupun perusahaan MIGAS sangat menjunjung tinggi permasalahan safety, namun sependek pengetahuan saya, terms PENALTY dalam artian Financial Consequences terhadap Kontraktor, BELUM pernah saya dengar, diterapkan kepada kontraktor pelaksana.
Mengapa demikian? Saya pernah bertanya pada salah seorang pakar HSE di kantor: "Memang target kita adalah "zero incidents, illness dan impact to the environment", "dan tugas kita adalah meyakinkan semua pekerjaan dapat dilakukan dengan aman", sehingga kita mempunyai slogan: "Our works is never so urgent unless we can do it safely".
Artinya nilai safety adalah nilai persepsi yang tinggi, kalau kita melakukan consequencess secara finansial(Penalty) terhadap kontraktor, lalu bagaimana kita bisa mengukur (measure) nilai (value) secara finansial dalam (maaf) sebuah Nyawa, jari tangan, injury dan lain sebagainya?
Apakah layak kita menilainya dengan uang ?
Ini yang kira-kira kemudian menjadi alasan, mengapa PENALTY dengan financial consequences tidak pernah diterapkan diperusahaan saya bekerja.
Walaupun bagi perusahaan MIGAS yang biasanya terdaftar distock exchanges, sebagai perusahaan publik, yang bisa jadi karena persepsi dengan kejadian itu, harga saham perusahaan bisa turun.\
Namun ada jenis "PINALTI" yang lain dari permasalahan ini, misalnya "black list" dari perusahaan tersebut dan atau mendapat rating "hitam" dari lembaga tertentu. Sehingga bisa menjadi bad track record bagi perusahaan tersebut dalam bekerja. Walaupun juga perusahaan pemberi kerja juga mempunyai peran dalam "case" safety ini secara tidak langsung.
Dan sebenarnya soal Pinalti adalah soal hubungan antara pekerja (Kontraktor) dan pemberi kerja (Owner). Dan semata hubungan diatas kertas yang disebut kontrak kerja.
Penalty yang diberikan biasanya berhubungan dengan "ingkar janji" antara para pihak.
Penalty sudah jamak pada permasalahan Waktu Penyelesaian (atau juga milestone). Yang biasanya diambil dari 0,1% nilai kontrak dan maksimal penalty adalah 5% (capping value).
Penalty dari Kontraktor kepada Client juga bisa diterapkan, misal: Pembayaran Client yang terlambat sehingga terdapat value of money yang hilang dari sisi kontraktor yang dapat di"claim" kepada Client.
Penalty/Sanction selain dalam hal finansial, dapat juga diberikan juga kepada kontraktor, dengan memberhentikan pekerjaan dengan alasan keamanan / safety, dan bagaimana meyakinkan bahwa kondisi sudah aman dapat bekerja kembali.
Biasanya dalam kondisi terjadi "incident" dan masuk dalam record TRR, kita selalu melakukan Safety stand down, introspeksi dan re-inspeksi terhadap prosedur dan lesson learned-nya.
Owner/Client juga berhak mengganti kontraktor pelaksana apabila dinilai "tidak mampu" melakukan dengan aman. Seperti diatur dalam kontrak.
Dan bisa jadi pinalti ini diberikan oleh negara atau regulator karena perusahaan tersebut "lalai" dalam melaksanakan tugasnya, seperti yang diterapkan pada negara2 barat sana. Work Safety Act dlsb..
Dan juga kejadian2 tertentu pada safety (dan environmental) impact yang bersifat pencemaran dan sejenisnya, dan biasanya "pinalty" atau denda ini juga diatur dalam sebuah regulation dalam sebuah negara.
Dan untuk Indonesia yang biasanya mengatur adalah Menaker dan KLH. Walaupun saya belum mendengar peraturan secara mendetail mengenai sanction/penalty ini kepada perusahaan tersebut.
Label: Contract Management, Project Management, Safety